REDHA DAN SYUKUR DENGAN KETENTUAN ILLAHI
*Redha Dan Syukur Dengan Ketentuan Illahi*
Abdullah Bin Zaid Al-Jurmi, lebih dikenali sebagai Abu Qilabah merupakan seorang ulama perawi Hadits yang wafat di Syam sekitar tahun 104H, di masa kekuasaan Yazid Bin Abdul Malik. Beliau meriwayatkan hadits di antaranya dari Anas Bin Malik r.a.
Seorang tabi’in, Abdullah Bin Muhammad, menceritakan pengalamannya:
Suatu ketika sewaktu dia berjalan-jalan di padang pasir, tiba-tiba dia terjumpa sebuah khemah. Dari pemerhatiannya, ternyata di dalamnya ada seorang tua yang tenang duduk di atas tanah. Mengejutkan, kedua tangannya kudung, matanya buta. Ia tinggal di kemah itu seorang diri, tanpa sanak saudara. Namun bibirnya kumat-kamit mengulang-ulang munajat, _"Ya Allah, ilhamkanlah daku agar senantiasa bersyukur atas segala nikmat-Mu yang telah Engkau kurniakan kepadaku, yang mana Engkau telah melebihkanku di atas kebanyakan manusia"_
Terpegun ia mendengar munajat itu. Dalam keadaan sebegitu dia masih mengatakan nasibnya lebih baik dari orang lain. Abdullah beranjak mendekatinya. Orang tua itu menyedari kehadirannya, lalu ia bertanya, _“Siapa di sana?"_ Abdullah menjawab, _“Saya tersesat, lalu terjumpa dengan khemah tuan ini.”_
Abdullah pula bertanya, _"Tuan ni siapa? Mengapa tuan tinggal seorang diri di tempat ini? Di mana isteri dan keluarga tuan?"_ Orang tua itu menjawab, _“Aku seorang yang sakit. Semua orang meninggalkanku, dan kebanyakan keluargaku telah meninggal.”_
_“Tadi saya dengar tuan mengulang-ulang syukur kerana dilebihkan dari orang lain. Demi Allah, apa kelebihan yang diberikan Allah kepada tuan? Tuan sendiri buta, miskin papa, tiada bertangan dan sebatang kara pula…?!?”_ ucapnya.
_“Aku akan menceritakannya kepadamu… tapi aku ada satu permintaan, bolehkah kau menunaikannya?”_ tanya orang tua itu. _“Jawab dululah pertanyaanku, nanti saya akan mengabulkan permintaanmu.”_ ujarnya.
Orang tua itu berkata, _“Engkau telah melihat sendiri betapa banyak ujian Allah atasku, akan tetapi segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia. Bukankah Allah memberiku akal sihat, yang dengannya aku boleh memahami dan berfikir…?"_ Abdullah mengakuinya, _“Betul.”_
Orang tua itu bertanya lagi, _“Berapa ramai orang gila di dunia ini?”_ Jawab Abdullah, _“Ramai juga.”_ Syukurnya, _“Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia.”_
Tanya orang tua itu lagi, _“Bukankah Allah memberiku pendengaran, yang dengannya aku boleh mendengar azan, memahami ucapan, dan mengetahui apa yang terjadi di sekelilingku?”_ Abdullah menjawab, _“Iya benar.”_ Syukurnya lagi, _“Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut.”_
Orang tua itu bertanya lagi, _“Betapa banyak orang tuli tak mendengar di dunia ini?” _Jawab Abdullah, _“Banyak juga…”_ Syukurnya, _“Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut.”_
Lanjut orang tua itu lagi, _“Bukankah Allah memberiku lisan yang membuatku boleh berdzikir dan bercakap-cakap?”_ Abdullah menjawab, _“Iya benar.”_ Tanya orang tu itu lagi, _“Lantas berapa banyak orang bisu yang tidak boleh berkata-kata?”_ Abdullah, _“Wah, banyak sekali....”_ Lalu syukurnya lagi, _“Maka segala puji bagi Allah yang telah melebihkanku di atas orang banyak tersebut.”_
Tanya lagi orang tua itu, _“Bukankah Allah telah menjadikanku seorang muslim yang menyembah-Nya… mengharap pahala dari-Nya… dan bersabar atas musibahku?”_ Abdullah mengakuinya. Katanya lagi, _“Padahal berapa ramai orang yang menyembah berhala, salib, dan sebagainya dan mereka juga sakit? Mereka rugi di dunia dan akhirat…!!”_ Abdullah mengakuinya lagi. _“Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut,”_ syukur orang tua itu lagi.
Orang tua itu terus menyebut kenikmatan Allah atas dirinya satu-persatu. Abdullah semakin takjub dengan keredhaannya terhadap pemberian Allah. Berapa ramai pesakit yang musibahnya tidak sampai satu perempat dari musibah yang ia alami, mereka yang lumpuh, yang buta dan pekak, yang kudung; namun jika dibandingkan dengan orang tua ini, mereka masih tergolong ‘sehat’. Pun demikian, mereka meronta-ronta, mengeluh, dan menangis sejadi-jadinya, mereka amat tidak sabar dan tipis keimanannya terhadap balasan Allah atas musibah, sedangkan pahala tersebut demikian besar…
Sedang Abdullah menyelami fikirannya semakin jauh, khayalannya terhenti saat orang tua itu berkata, _“Bolehkah kusebutkan permintaanku sekarang? Maukah engkau menunaikannya?.”_
_“Baiklah.. apakah permintaan tuan...?”_ Katanya.
Orang tua itu menundukkan kepalanya menahan tangis. Lalu ia berkata, _“Dari keluargaku hanya tinggal seorang anakku yang berusia 14 tahun. Dialah yang selama ini membawakan makanan dan minuman, menyiapkan air wudhu serta menguruskan segala keperluanku. Tapi sejak malam tadi, ia keluar mencari makanan dan tidak balik sampai sekarang. Aku tak tahu bagaimana nasibnya. Jika ia masih hidup bolehlah kuharapkan kepulangannya, jika telah tiada akan kulupakan saja... Kamu lihat sendiri keadaanku yang tua renta dan buta, yang tidak mampu mencarinya... Jadi, sudikah engkau mencari puteraku itu?"_ Dia menyatakan kesanggupannya.
Dari ciri-ciri yang diceritakan oleh orang tua itu, dia pun keluar mencari anaknya yang hilang itu. Tatkala berjalan dan bertanya-tanya kepada orang ramai, ternampaklah olehnya dari kejauhan sebuah bukit kecil tak jauh dari khemah orang tua itu. Di atasnya ada sekawanan burung yang mengerumuni sesuatu. Dia pun mendaki bukit tersebut dan mendatangi kawanan burung tadi hingga semuanya berhamburan terbang.
Alangkah terkejutnya dia, ternyata anak orang tua itulah yang telah mati dengan badan terpotong-potong. Ia telah diterkam oleh bintang buas dan memakan sebagian dari tubuhnya, lalu meninggalkan sisanya untuk kawanan burung.
Sangat sedih hatinya dengan nasib orang tua itu. Diapun turun dari bukit, dengan berat dilangkahkan kaki. Dia dalam dilema samada akan meninggalkan si Tua atau mendatanginya dan menceritakan apa yang berlaku. Namun, bagaimana harus memulakan kata-kata?
Akhirnya terlintaslah di benaknya akan kisah Nabi Ayyub a.s. Ditemuinya pak tua itu, ia masih dalam keadaan sama seperti saat ia ditinggalkannya. Diucapkannya salam kepadanya, dan pak tua yang malang ini demikian rindu ingin tahu tentang anaknya. Ia mendahuluinya dengan bertanya, _“Bagaimana keadaan anakku?”_
Abdullah berkata, _“Jawablah terlebih dahulu... siapakah yang lebih dicintai Allah, adakah tuan ataukah Ayyub a.s.?”_ Jawab orang tu itu, _“Tentu Ayyub a.s. lebih dicintai Allah.”_
_“Lantas siapakah di antara kalian yang lebih berat ujiannya?”_ tanyanya kembali. _“Tentu Ayyub...”_ jawab orang tua itu. _"Lalu apa yang dilakukan Nabi Ayyub a.s. saat mendapat ujian dan musibah dari Allah?”_ tanyanya. _"Ia bersabar, bersyukur dan memuji Allah"_ jawab orang tua itu.
_“Kalau begitu, berharaplah pahala dari Allah... Karena aku menjumpai anak tuan telah mati di tengah pasir... Ia diterkam oleh binatang buas dan dikoyak-koyakkan tubuhnya...”_ jawab Abdullah.
Orang tua itu tersedak-sedak, seraya berkata, _“Laa ilaaha illallaaah...”_ Abdullah berusaha menghibur dan menyabarkannya. Namun tak lama kemudian ia menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Abdullah sangat terharu dengan kejadian ini. Ditutupi jasadnya dengan selimut yang ada di bawahnya. Lalu dia keluar untuk mencari seseorang. Tak lama kemudian, datanglah tiga orang musafir mengendarai unta mereka. Dipanggilnya mereka datang.
Abdullah berkata, _“Maukah kalian menerima pahala yang disediakan Allah? Di sini ada seorang muslim yang meninggal dan dia tidak punya siapa-siapa yang akan mengurusinya... Maukah kalian menolongku memandikan, mengafani dan menguburkannya?"_
_“Baiklah..”_ jawab mereka.
Tatkala menyingkap wajahnya, mereka terkejut dan saling berteriak, _“Abu Qilabah..!! Abu Qilabah...!!”_
Ternyata orang tua itu adalah guru dan ulama yang mereka hormati, akan tetapi waktu silih berganti dan ia dirundung berbagai musibah hingga menyendiri dari masyarakat dalam sebuah kemah lusuh. Setelah menguburkannya di perbatasan negeri Syam tersebut, Abdullah bersama-sama mereka kembali ke kota Madinah.
Malamnya dia bermimpi melihat Abu Qilabah dengan penampilan indah dengan badan yang sempurna berjalan-jalan di tanah yang hijau. Dia bertanya, _“Wahai Abu Qilabah, apa yang menjadikanmu seperti yang kulihat ini?”_
Jawabnya, _“Allah telah memasukkanku ke dalam Jannah, dan dikatakan kepadaku di dalamnya, "Salam sejahtera atasmu sebagai balasan atas kesabaranmu... Maka (inilah Surga) sebaik-baik tempat kembali."_
#insafidiri
Comments
Post a Comment